Ijtihad: Proses Istinbath Hukum Islam

FAZZANPOST – Secara etimologi, ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada, yang bentuk mashdarnya ada dua bentuk, yaitu al-jahd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan al-juhd, yang berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Kata al-jahdu dapat ditemukan dalam surat al-An’am ayat 109 berikut:

Artinya, “Mereka bersumpah dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah”.

Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Sedangkan kata al-juhdu ditemukan di dalam al-Quran surat al-taubah ayat 79 sbb.::

Artinya, “Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”.

Ijtihad adalah mashdar dari fi’il madly ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata jahada menjadi ijtahada pada wazan ifta’ala berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesutau (Rachmat Syafe’I, 1999: 98). Bila arti kata (etimologis) ini dikaitkan dengan arti istilah (terminologis) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhna serta sepenuh hati (Amir Syarifuddin, 2008: 223- 224).

Adapun definisi ijtihad secara terminology, banyak rumusan yang diberikan oleh para ulama, diantaranya adalah:


Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi:

Artinya, “Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat amali melalui cara istinbath”.

Kata “badzlu al-was’i” dalam definisi di atas menunjukkan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Sedangkan kata “syar’i” mengandung arti bahwa yang dihasilkan oleh usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.


Dengan menambahkan kata “alfaqih” sesudah kata “albadzlu dan kata zhan sebelum kata hukum syar’i, Ibnu Subki mendefinisikan ijtihad adalah:

Artinya, “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i”.

Penambahan kata “faqih” mengandung arti bahwa yang mengereahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai deajat tertentu yang disebut faqih. Sedangkan kata zhan mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti, sedangkan Allah sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti. Kalau sudah ada firman Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak perlu ada ijtihad lagi.


Al-Amidi merumuskan definisi yang melengkapi dua definisi di atas, yaitu:

Artinya, “Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”.

Dari tiga definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat dari ijtihad adalah:

  • Pengerahan daya nalar secara maksimal
  • Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih;
  • Produk atau hasil yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah; dan
  • Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath (Amir Syaarifuddin, 2008: 223- 226).

Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Dalam istilah ini, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu dapat dilakukan di bidang fiqh (Rachmat Syafe’i, 1999:99).

Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dilakukannya ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas

maupun berdasarkan isyarat, diantaranya firman Allah surat al-Nisa ayat 105:

Artinya, “Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.

Hadits yang diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa:

Artinya, “Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab: “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari rasul-Nya”.

Hal ini telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Rachmat Syafe’I, 1999: 101-103).

Hukum berijtihad dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menetukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya. Ketiga, hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa meamndang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada keadaan dan kondisi tertentu.

Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib bagi seorang faqih yang sudah mencapai tingkat faqih. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2:

Artinya, “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.

Dalam ayat ini, Allah menyuurh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil I’tibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil

I’tibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akibat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil I’tibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil i’tibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah menunjukkan wajib.

Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-harinya pada waktu mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal yang perlu diselesaikan dengan ijtihad. Bertaqlid kepada orang lain tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebaai mujtahid. Kalau tidak diperbolehkan bertaqlid, berarti ia harus berijtihad. Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak memperoleh petunjuk dari dalil yang kuat.

Dalam kedudukannya sebagai faqih yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang minta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada kondisi mujtahid dan umat di sekitarnya. Pertama, bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib ‘ain.

Kedua, bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pad waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib kifayah. Hal ini berarti bawha bila untuk menetapkan hukum kasus tersebut telah ada seorang faqih yang tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqih pun yang berijtihad, sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada di situ berdosa, karena meninggalkan kewajiban kifayah.

Ketiga, bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya sunat. Artinya, tidak berdosa seorang faqih tersebut bila tidak melaukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik.

Keempat, berjtihad itu hukumnya haram untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’I, atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama, karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan qath’i yang mengaturnya, dan kedua, karena orang yang berijtihad tidak (belum) memenuhi syarat yang dituntut untuk berijtihad.

Kelima, dalam menghadapi suatu kasus yang sduah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersbut elum diatur secara jelas dalam nash al-Quran maupun Sunnah,

sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa aorang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya adalah mubah atau boleh (Amir Syarifussin, 2008: 226-229).

Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yaitu:

  • Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash;
  • Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasaahan yang tidak terdapat dalam al- Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas;
  • Ijtihad al-istishlahi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.

Pembagian di atas disempurnakan oleh Muhammad taqiyu al-Hakim, dengan mengemukakan alasan diantaranya al-jami’ wa al-mani’. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

  • Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu tidak baik bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
  • Ijtihaad syara’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain (Rachmat Syafe’I, 1999: 104-106; lihat Amir Syarifuddin, 2008: 267-274).

Syarat seorang berijtihad atau syarat seorang mujtahid dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi kepribadiannya; dan (2) dari sisi kemampuannya. Pertama, syarat yang berhubungan dengan kepribadian menyangkut dua hal, yaitu: (1) syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yakni telah baligh dan berakal; dan (2) syarat kepribadian khusus yang menyangkut keimanan dan keadilan. Seorang mujtahid harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan dzat, sifat dan perbuatannya. Yang dimaksud dengan adil di sini adalah adil yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadits dan dalam kewalian, yaitu malakah atau potensi yang melekat pada diri seseorang yang tidak memunkginkannya untuk melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam berbuat dosa kecil.

Kedua, syarat yang berhubungan dengan kemampuan, yaitu yang berhubungan dengan kemampuan akademis untuk meneliti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta merumuskannya dalam formulasi hukum. Untuk mencapai kemampuan seperti ini diperlukan bebrapa syarat yang secara kumulatif adalah:

  • Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
  • Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Menurut al-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur keshahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.;
  • Mengetahui nasakh dan mansukh dari al-Quran dan al-Sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far al-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
  • Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang dapat dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratib al-Ijma’.
  • Mengetahui qiyas dan berbagai pesyaratannya serta mengistinbathnya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad;
  • Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan baasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena al-Quran adan al-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab;
  • Mengetahui ilmu ushul fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad.
  • Mengetahui maqashid al-syari’ah (yujuan syari’at) secara umum, karena bagaimana pun juga syari’at itu berkaitan dnegan maqashid al-syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Maksud dari maqashid al-syari’ah antara lain menjaga kemashlahatan manusia dan menjauhkan dari kemadaratan yang standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia (Rachmat Syafe’I, 1999: 104-106 & Amir Syarifuddin, 2008: 255-264).

Menurut al-Ghazali, objek ijtihad ialah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidaka dapat dijadikan objek ijtihad. Syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi ke dalam dua bagian.

  • Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
  • Syari’at yang dapat dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan ijma’ para ulama.

Apabila ada nash yang keberadannya masih zhanni, hadits ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Adapun nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khash, mutlaq, muqayyd, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permsalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain (Rachmat Syafe’i, 1999: 106-107).

Menurut para ulama, tingkatan para mujtahid itu terbagi kepada lima tingkatan, yaitu:

  • Mujtahid mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqhnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut al-Suyuti, tingkatan ini sudah tidak ada lagi;
  • Mujtahid Mutlaq ghairu Mustaqil, yaitu orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, teapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Mujtahid ini dapat juga disebut sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yan ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
  • Mujtahid Muqayyad/Mujtahid Takhrij, yaitu mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafe’i.
  • Mujtahid Tarjih, yaitu mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkat mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah- kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya al-Qaduri dan pengarang kitab al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
  • Mujtahid fatwa, yaitu orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kadiah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut (Rachmat Syafe’I, 1999: 108- 109).

Published by FAZZAN POST

Personal Info Name: Fazzan, M.A.Ph.D Gender: Male Relationship Status: Married to Maharani Bengi Birthday: July 12, 1984 Hometown: Banda Aceh, Aceh Political Views: Islamic Religious Views: Muslim Favorite Books: Work Info Employer: State Islamic University of Ar-Raniry Position: Lecturer Lecturer at the Faculty of Education and Teaching Time Period: 2009–Present Employer: College of Al-Washliyah Position: Lecturer Lecturer of Islamic High School Time Period: 2014–Present Employer: University of Abulyatama Aceh Position: Lecturer Lecturer at the Faculty of Medicine and Engineering Time Period: 2012–2013 Employer: State Islamic High School Malikussaleh Position: Guest Lecturer Time Period: 2012 Education Info Grad Schools: Islamic Education 09, Master of Arts, Modern Jurisprudence '12, State Islamic University of Ar-Raniry. Doctor of Philosophy, Fiqh and Ushul Fiqh '16, University of Malaya, Kuala Lumpur Contact Info Cell: +6285260060068 E-mail: fazzan.ma@yahoo.com Location: PO BOX 23126 Banda Aceh, Indonesia

Leave a comment