Cuplikan Percakapan Sukarno-Daud Beureu’eh

“…Waallah Billah, Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menjusun rumah tangganja sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakjat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu…??”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Sukarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Sukarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.

Sukarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Janji tinggal janji, belum kering bibir sang Presiden, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Sukarno dianggap hanya pelengkap sandiwara. Deraian air mata bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan rakyat pemodal kemerdekaan bangsa ini.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

Presiden Sukarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Sukarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Sukarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Sukarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Air mata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan ;

Sukarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.”

Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, : “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka air matanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah;

Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureueh menjawab : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureu’eh, El Ibrahimy adalah seorang Purn. ABRI jugamenantu Daud Beureueh. Menyatakan bahwa mertuanya itu melihat Bung Karno menangis terisak-isak, sehingga dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Sukarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Dan apa yang terjadi? Aceh kembali membara. Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri dan menjalankan syariat Islam sejak awal kemerdekaan sebagaimana janji dalam pertemuannya dengan Daud Beureueh pun akhirnya dicabut.

Rakyat Aceh berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan rela menghibahkan seluruh kekayaannya; Aceh yang porak-poranda setelah Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah (sejenis surau) dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah oleh pemerintah di jakarta dibiarkan terbengkalai.

Perempuan-perempuan Aceh rela melepaskan perhiasan emas dari tangannya, para pria menjual ternak-ternak kerbau, sapinya, hingga telur-telur ayam kampung -begitulah tutur orang-orang tua Aceh dulu-, Semua dikumpulkan untuk dana membeli dua pesawat Dakota, RI-001 dan RI-002, cikal bakal Garuda Indonesia.

Juga sejumlah sumbangan dana untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan di luar Aceh, yakni di Medan Area dan Yogyakarta, itu mereka lakukan semata demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia.

Namun karena jasa ini pula-lah rakyat Aceh harus menanggung beban perang selama puluhan tahun dengan pemerintahannya sendiri. Kenyataan tersebut rakyat Aceh menganggap telah terjadi penghinaan yang luar biasa,Inilah titik awal timbulnya rasa sakit hati rakyat Aceh yang menyisakan parut luka hingga kini.

Dan pada kenyataan itu juga, rakyat Aceh telah mengangap bung Karno telah mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah SWT,Kenyataan ini pula oleh rakyat Aceh dianggap sebagai sebuah kesalahan yang tidak termaafkan.

Sumber: Aceh Sepanjang Abad

Published by FAZZAN POST

Personal Info Name: Fazzan, M.A.Ph.D Gender: Male Relationship Status: Married to Maharani Bengi Birthday: July 12, 1984 Hometown: Banda Aceh, Aceh Political Views: Islamic Religious Views: Muslim Favorite Books: Work Info Employer: State Islamic University of Ar-Raniry Position: Lecturer Lecturer at the Faculty of Education and Teaching Time Period: 2009–Present Employer: College of Al-Washliyah Position: Lecturer Lecturer of Islamic High School Time Period: 2014–Present Employer: University of Abulyatama Aceh Position: Lecturer Lecturer at the Faculty of Medicine and Engineering Time Period: 2012–2013 Employer: State Islamic High School Malikussaleh Position: Guest Lecturer Time Period: 2012 Education Info Grad Schools: Islamic Education 09, Master of Arts, Modern Jurisprudence '12, State Islamic University of Ar-Raniry. Doctor of Philosophy, Fiqh and Ushul Fiqh '16, University of Malaya, Kuala Lumpur Contact Info Cell: +6285260060068 E-mail: fazzan.ma@yahoo.com Location: PO BOX 23126 Banda Aceh, Indonesia

Leave a comment